Putra pertama Putri Anisa, Alev, berkemah bersama teman kelompok homeschooling-nya. Alev juga pernah bersama teman homeschooling-nya pergi ke luar kota dan tinggal sebulan sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat.
Apa yang terjadi ketika mendengar anak menolak untuk sekolah? Bisa dibayangkan betapa pusingnya orangtua menghadapi hal tersebut. Segala cara akan dilakukan demi anak kembali menginjak sekolah. Padahal, belajar tak juga harus duduk anteng di sekolah.
Bukan keputusan mudah bagi Putri Anisa ketika suaminya, Andi Muhyiddin, melontarkan gagasan sekolah di rumah bagi anak-anaknya. Berbagai pikiran menghantuinya. Apa nanti kata orang apabila anak tak sekolah? Bagaimana legalitasnya? Mau jadi apa masa depan anak-anaknya?
Meski hanya di dalam hati, ia mencoba untuk mempertimbangkan karena melihat perkembangan anak-anaknya. ”Melihat prestasi mereka itu, misal ikut lomba matematika, lebih karena memang mereka les matematika juga kan di luar sekolah. Bukan karena pembelajaran di sekolah. Terus anak-anak juga mulai mengeluh soal lingkungan,” ungkap Putri ketika berbincang pada Selasa (23/7/2024).
Akhirnya, Putri berjumpa dengan Sumardiono dan Mira Julia yang mengampu Rumah Inspirasi dan Klub Oase, wadah bagi para keluarga homeschooling. Ketika mendengar penjelasan dan cara memulai, Putri merasa homeschooling masuk akal untuk dijalani. Ia pun memulainya pada 2015.
Sepanjang perjalanan sembilan tahun dengan upaya trial dan error, dua buah hati Andi dan Putri kini memasuki bangku kuliah di Universitas Indonesia melalui jalur seleksi tertulis. ”Kami terbuka saat itu. Mau kuliah boleh, enggak juga enggak apa karena melihat anak-anak sudah punya skill yang bisa dikembangkan juga dan yang besar mulai bikin proyek foto dan video juga. Tapi ternyata mereka ingin kuliah,” ujar Andi.
Diakui keduanya, proses kedua putra-putrinya cukup menantang. Anak-anak dari homeschooling hanya mempunyai kesempatan masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur mandiri dan jalur tertulis. Di sisi lain, mereka juga harus berjuang lebih untuk bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan mengikuti aneka tryout sebelumnya.
Putri Anisa ketika menemani anak-anak homeschooling di Klub Oase berkegiatan pramuka. Anak bungsunya ikut serta dalam kegiatan ini.
Kendati demikian, Andi dan Putri telah memberi gambaran perjuangan apa saja yang harus ditempuh anak-anaknya untuk masuk kuliah. ”Legalitas enggak masalah. Tapi untuk mengerjakan soal ujian ini harus membiasakan diri. Ditambah riset tentang passing grade dan kemungkinan pilihan kedua di luar pilihan utama dan berbagai informasi yang harus dicari sendiri,” tutur Putri. Anak-anak dari Andi dan Putri juga aktif berprestasi di bidang taekwondo sejak SD hingga SMP.
Secara terpisah, Sumardiono, yang akrab disapa Aar, dan Mira Julia, yang biasa dipanggil Lala, juga menjelaskan hal serupa ketika kedua anaknya hendak masuk kuliah. Kini, keduanya menjalankan studinya di perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, sembari menjalankan wirausaha sesuai dengan minat dan bakatnya.
Pencapaian akademik dengan berkuliah hanya satu dan lain hal. Metode homeschooling yang mengedepankan format customize learning ini juga berpotensi membantu anak menggapai mimpinya di luar jalur akademik. Anak bungsu dari Aar dan Lala, yang berusia 15 tahun, yakni Satria Duta, misalnya, saat ini fokus menjadi atlet catur. Akhir tahun lalu, Duta menjadi wakil Indonesia di U16 Asian Youth Chess Championship 2023 yang berlangsung di Uni Emirat Arab.
Baca juga: Pilihan Sadar Mendidik Anak lewat Sekolah Rumah
Ada pula putri dari Sheila Novita, yaitu Alifah Sakhi Qotrunnada, yang masih berusia 8 tahun juga bebas mengembangkan bakatnya sebagai penulis dan ilustrator. Beberapa waktu lalu di acara festival literasi Patjar Merah Kecil, Nada, panggilan akrabnya, menjadi salah satu penulis cilik yang cerpennya terpilih dan dibukukan dalam kumpulan cerpen Sayap-sayap bersama seniman Reda Gaudiamo dan penulis Djokolelono. Nada juga telah merampungkan dua buku anak yang terbit melalui Bookabook.
”Prosesnya cukup panjang, tapi semuanya hasil observasi selama mendampinginya sekolah di rumah sejak usia PAUD,” ujar Sheila.
Aar dan Lala pun sepakat minat dan bakat anak sesungguhnya dapat dilihat melalui observasi orangtua. ”Pada usia tertentu, biarkan anak mengeksplorasi. Nanti akan terlihat itu dari pemantauan orangtua. Apalagi jika relasi dan interaksi orangtua dan anak ini intens, maka terasa itu,” jelas Aar yang telah menjalankan homeschooling sejak 2001.
Prosesnya cukup panjang, tapi semuanya hasil observasi selama mendampinginya sekolah di rumah sejak usia PAUD.
Dalam perjalanannya, Aar dan Lala mengakui penerapan homeschooling penuh uji coba. Semisal seorang anak saat SD bisa dengan cara A, maka ketika masuk SMP bisa jadi cara saat SD sudah tidak efektif lagi. Di situ, orangtua harus mulai menggali dan membahas kesepakatan lagi dengan sang anak.
”Anak kan bertumbuh. Kebutuhan dia ketika usia SD dengan memasuki masa remaja pasti berbeda. Itu harus jadi pertimbangan. Karena itu, orangtuanya juga jadi terus belajar. Karena kunci homeschooling sebenarnya ada di orangtua,” ujar Lala.
Berdasarkan pengalaman, mereka juga menyinggung perihal biaya. ”Gini ya, homeschooling itu benar fleksibel termasuk dari segi biaya. Karena semua hal bisa jadi media belajar. Jalan-jalan atau pergi ke pasar saja sudah belajar kan. Buku-buku bisa cari digital atau second, atau aplikasi berbayar bisa juga tanggung renteng dengan orang tua lain. Tapi yang terpenting, bukan berarti dengan kondisi begini kemudian anggaran pendidikan yang sudah disiapkan jadi didiskon,” ujar Lala.
Ia memberi contoh, misal orangtua sudah menyiapkan biaya pendidikan untuk anak di sekolah internasional. Bukan berarti ketika memutuskan untuk homeschooling, kemudian sisa biaya yang ada malah dialihkan untuk hal di luar pendidikan anak. ”Jadi, tetap dipakai tapi untuk les anak atau memasukkan ke tempat-tempat yang bisa memenuhi bakatnya atau memfasilitasi dia mengembangkan minat dan bakatnya,” kata Lala.
Baca juga: Memilih Sekolah Terbaik untuk Anak
Saat itu, Aar dan Lala membekali diri melalui berbagai buku berkaitan dengan homeschooling dan bergabung dalam mailing list untuk membahas mengenai pola homeschooling. Berbagai pengalaman dari orangtua di luar Indonesia yang saat itu sudah lebih banyak menjalankan metode ini juga menjadi panduan.
Sejak pandemi, informasi mengenai homeschooling bertebaran. Namun, Aar dan Lala mengingatkan untuk tidak asal ikut-ikutan karena homeschooling membutuhkan komitmen dan kesepahaman visi-misi dari keluarga mengenai pendidikan dan tujuan yang ingin dicapai. Karakteristik anak juga perlu dipertimbangkan mengingat homeschooling ini selain mengutamakan fleksibilitas juga penting berpihak pada anak.
Kegiatan 17 Agustus yang mempertemukan anak-anak homeschooling secara langsung dengan teman-temannya.
Hal ini benar adanya karena tak semua orangtua siap dengan metode pembelajaran ini. Secara legalitas, bisa menginduk pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang memiliki layanan dasar. Salah satunya ada PKBM Piwulang Becik. Namun, umumnya, kendalanya biasa terbentur pada perspektif dan materi pembelajaran. Menanggapi kondisi ini, bermunculanlah lembaga yang akhirnya menggabungkan konsep homeschooling dengan belajar tatap muka tanpa mengurangi sisi fleksibilitas dan keberpihakan pada anak.
Salah satunya Sekolah Murid Merdeka yang diinisiasi Najeela Shihab. Sistem blended learning berbasis inovasi digital dipadu pendekatan pedagogis dipilih Najeela untuk mengembangkan Sekolah Murid Merdeka.
Metode belajar tatap muka dan daring dijalankan dengan rasio tiga kali pertemuan dalam seminggu untuk yang memilih kelas tatap muka di hub terdekat dan bagi yang memilih daring dibuka dua kali pertemuan melalui Zoom dalam seminggu. Di hari tanpa pertemuan dengan guru, anak-anak memperoleh tugas baik berupa praktik mandiri, eksperimen, diskusi dengan pendamping belajar di rumah, hingga bermain gim.
Untuk kelas tatap muka, hub Sekolah Murid Merdeka di sejumlah kota di Indonesia. Untuk kelas daring, pilihan ini juga membuka peluang bagi anak-anak yang berada di luar negeri karena mengikuti orangtua tetap bisa ikut belajar.
Tugasnya pun menggabungkan konsep akademis dengan kehidupan sehari-hari. Misalkan, anak diminta membuat video ketika mencuci piring atau membereskan rumah lalu menjelaskan tahap demi tahapnya secara berurutan dalam bentuk tulisan yang kemudian diunggah agar bisa dilihat oleh guru.
”Pada akhirnya, kan, di kenyataan hidup kita harus bisa semuanya,” ujarnya.
Anak homeschooling tengah mengakses pembelajaran melalui aplikasi daring.
Di Sekolah Murid Merdeka, kompetensi jadi basis prinsip pembelajaran sekolah dan asesmen untuk tiap anak. Kompetensi yang dimaksud yakni adanya wujud aksi riil dalam praktik keseharian sehingga bukan nilai tiap mata pelajaran yang disuguhkan di rapor anak.
Najeela yang telah 25 tahun berkecimpung di dunia pendidikan juga menyadari, karakteristik setiap anak berbeda. Minat anak bisa saja tercurah pada satu hal tetapi nihil di hal lain. Sekolah Murid Merdeka tak menilai ketidaktertarikan tersebut sebagai kelemahan, tetapi adanya bakat terpendam pada hal lain. Oleh karena itu, guru perlu peka dan ketat menilai.
Pada akhirnya, kan, di kenyataan hidup kita harus bisa semuanya.
”Oh anak ini, nih, belum mencapai hal tertentu, ada intervensi-intervensi yang bisa dilakukan. Lagi pula program kurikulumnya ya bukan hanya nasional, melainkan kurikulum untuk setiap anak itu terpersonalisasi sehingga efektif belajarnya. Anak juga yang mengendalikan pembelajaran,” kata Najeela.
Meski menggunakan konsep blended learning, Najeela tetap menekankan pentingnya peran orangtua sebagai guru pertama dan utama bagi anak. ”Karena dia bisa pindah sekolah, ganti guru, dan sebagainya, tetapi sebenarnya komponen yang sangat konsisten untuk mencapai pendidikan yang jangka panjang nih bukan cuma sekadar naik kelas atau nyelesaiin materi, tetapi itu adalah orangtuanya,” ujar Najeela.
Selain itu, ada juga Homeschooling Kak Seto yang sudah ada sejak 2007. Di sini juga menawarkan konsep blended learning. Mengutip situs web resminya, sekolah Homeschooling Kak Seto ini tatap muka tiga kali per minggu para murid belajar di kelas selama tiga jam, pukul 09.00-12.00. Sekolah ini juga membuka kelas daring.
Gagasan Kak Seto membuka sekolah ini berawal dari protes sang anak yang tinggal satu semester lagi lulus SMP. ”Anak saya karena merasa dipaksa lantas bilang begini, kalau saya tetap dipaksa masuk sekolah akan saya laporkan ke Ketua Komisi Nasional Anak. Kebetulan saat itu ketuanya saya sendiri, ha-ha-ha. Daripada perang saudara, kami akhirnya menggelar sidang majelis permusyawaratan rumah,” ujar Kak Seto.
Pada dasarnya, sang anak ternyata suka belajar hanya saja sempat mengalami masalah perundungan sehingga lebih memilih belajar dari rumah. ”Dia juga memperlihatkan dari internet soal homeschooling di beberapa negara. Dia tanya, kenapa di Indonesia tidak ada,” ujar Kak Seto.
Kak Seto menambahkan, pengalaman juga menunjukkan belajar yang efektif adalah belajar dalam dunia yang menyenangkan. Cara belajar, yang tak hanya melibatkan unsur kognitif, tetapi juga unsur afektif, emosi, dan perasaan.
Proses belajar yang menyenangkan, menurut Kak Seto, harus sesuai dengan karakteristik anak karena tiap anak itu unik. Apabila dipaksakan sama untuk tiap anak, hak belajar anak telah dirampas.
Hal itu bisa kemudian memunculkan ketakutan-ketakutan atau fobia anak terhadap sekolah. Akibatnya, anak ditempatkan dalam posisi yang serba tidak enak, fight atau flight. Melawan atau pergi. ”Perlawanan yang dilakukan pun bisa bermacam-macam, seperti menjadikan anak mogok atau bolos sekolah. Semua itu terjadi lantaran sekolah dianggap tidak lagi menyenangkan,” kata Kak Seto.
Perlawanan yang dilakukan pun bisa bermacam-macam, seperti menjadikan anak mogok atau bolos sekolah. Semua itu terjadi lantaran sekolah dianggap tidak lagi menyenangkan.
Untuk itu, metode homeschooling atau blended learning bisa menjadi pilihan bagi orangtua menyiapkan pendidikan yang kian personal bagi anak. Gugur premis bahwa homeschooling atau blended learning hanya untuk anak bermasalah, anak sibuk, atau anak orang kaya.
Semua bisa menjalaninya tergantung dari komitmen setiap keluarga beserta tujuan. Sebab, pada akhirnya, sekolah dengan berada di gedung sekolah atau homeschooling hanya soal cara untuk belajar dan menjadi terdidik. Hasilnya, semua bisa menggapai cita-citanya sesuai aspirasinya.
Catatan: Artikel merupakan hasil kolaborasi dengan mahasiswa peserta magang Harian Kompas Daffa Almaas Pramesthy (mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta) dan Rilanda Virasma Meiprita (mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang).
Web ini dibuat oleh peserta didik di Talent Class Web Development